Pages

Embedded tumblr

Tuesday, August 2, 2011

Tentang Kearifan Lokal

Kearifan lokal adalah kata kunci yang mulai santer terdengar di masyarakat awam. Ada semacam 'kesadaran' untuk menggali kembali sesuatu dari masa lalu. Melihat artefak masa lampau dengan sudut pandang yang berbeda, bukan sekedar nostalgia atau eksotisme belaka


Secara konseptual, istilah “kearifan lokal” sebenarnya mulai terdengar santer sekitar 20 tahun yang lalu. Ia diartikan sebagai pengetahuan, pandangan, dan sikap yang berkembang secara unik di satu tempat sebagai reaksi terhadap kondisi lokal yang beragam dan berasal dari akumulasi pengalaman praktis yang berakar oleh waktu. (Mau dicatat? Lumayan kalau ada kuis waktu kuliah ^_^)

Di Indonesia, makin nyaringnya konsep Kearifan Lokal adalah reaksi terhadap kecenderungan membuat kebijakan penyeragaman dari “pusat". Tanpa kita sadar istilah "pusat" dan "daerah" yang kita pakai sampai sekarang menyimpan potensi diskriminasi, paling tidak dari segi bahasa. Bukankah jika yang satu adalah pusat maka yang lain adalah pinggiran?

Di masa Orba, sebagai ilustrasi, kecenderungan sentralistis untuk penyeragaman paling mencolok ketika se-Indonesia harus mengadopsi sistem “kelurahan”. Padahal di Minangkabau, misalnya, ada sistem “nagari” yang mengatur kehidupan sosial di tingkat lokal. Kelurahan itu model Jawa.

Di luar negeri pun, ternyata ada sejumah contoh. Misalnya, kecenderungan sentralistis itu dulu juga ada di RRC. Satu program yang berhasil di Dazhai, misalnya harus ditiru oleh daerah-daerah lain. Harap diingat baik RRC maupun Indonesia adalah dua negara dengan wilayah luas dan penduduk banyak yang tak memilih bentuk federal sehingga memang ada kecenderungan bahwa segala kebijakan ditentukan dari 'pusat'. Namun yang penting sekarang dari kasus Indonesia dan RRC ini : ada tendensi untuk bikin kebijakan yang tak indahkan kondisi lokal.

Lalu apa penyebabnya?
Ada yang mengaitkan kecenderungan itu dengan semangat “narasi besar” yang disebut “modernitas”.
Banyak teori tentang modernitas. Tapi secara umum modernitas terkait dengan peradaban industri dan efisiensi ekonomi. Karena dorongan efisiensi dan efektifitas, perumus kebijakan di satu negeri yang mau “maju” (dengan industri dan dagang) perlu “template". Artinya perlu ada satu modul desain universal untuk dipakai dimana-mana; menghemat tenaga, waktu, dan mudah dikendalikan.
Nah sebagai konsekuensi dari universalitas ini, apa yang lokal diabaikan. Seunik apapun. Justru hal yang unik ini acapkali dianggap mengganggu efisiensi dan uniformitas. Semangat “modernitas” inilah yang banyak bikin korban dan kesalahan. Contohnya bagi warga Bandung adalah kasus ini.

Sejak kurang lebih 30 tahun yang lalu, kata “post-modernitas” terdengar nyaring: sebuah reaksi terhadap “modernitas”. Sikap post-modern menampik narasi besar. Narasi besar (ideologi yang mengklaim bisa menjawab dan jadi dasar semua hal) dianggap menindas dunia kehidupan yang kongkrit. Dunia kehidupan yang kongkrit itulah- yang tak semuanya bisa dipahami ideologi dan rencana besar- dasar “kearifan lokal”.
Sebagai oposisi terhadap tendensi sentralistis Orde Baru, seruan untuk menghargai dan merawat kearifan lokal terdengar nyaring. Sekarang, penghargaan terhadap kearifan lokal berkembang luas. Salah satunya misalnya dengan memodifikasi icon jagoan Indonesia Gatotkaca menjadi lebih populer dan selaras dengan nafas zaman.
Dari situs Kementerian Desain Republik Indonesia (KDRI)
http://menteridesainindonesia.blogspot.com/ 

Tapi pengertian “kearifan lokal” sebenarnya tak jelas benar dan mengandung problem yang sering tak diakui dan tak dikemukakan.

Apa yang sebenarnya yang dimaksud “lokal”? Tingkat kampung? Desa? Dimana batasnya?

Sejak kurang lebih 10 tahun yang lalu mulai dipertanyakan: benarkah “kearifan” itu perlu dirawat, bila di dalamnya ada yang jadi korban?
Misal adat istiadat yang menindas perempuan, atau hamba sahaya, atau destruktif bagi kehidupan anak.
Di India dulu, ada adat atau keharusan istri untuk membakar diri bersama jenazah suaminya. Haruskah itu dihargai juga?
Di Bali, kuatnya solidaritas banjar adalah suatu adat yang mengagumkan. Tapi ada warga yang merasa kemandiriannya dihapus. Mana yang benar?

Agaknya perlu ditilik, orang bisa meromantisasi Kearifan Lokal seperti orang "Barat" meromantisasi “noble savage”- orang primitif yang mulia. Penduduk pribumi dianggap lemah secara IPTEK oleh kaum penjajah namun kuat dalam hal "moral", "etika", "filsafat kehidupan" dan lebih ramah lingkungan. Sikap ini masih tergambar hingga kini, seperti dalam film-film Hollywood berikut ini.
Pocahontas (Disney 1995)

Avatar (20th Century Fox 2009)

Dances With Wolves (MGM 1990)


Mungkin dalam memandang Kearifan Lokal, kita harus hati-hati agar tak meniru secara tak sadar sikap “orientalis”yang cenderung memandang kebudayaan lain sebagai sesuatu yang tunggal dan tak berubah. Padahal tiap kebudayaan mengnadung retakan.
Kebudayaan “Jawa” misalnya, tak satu dan selalu berubah. Ada budaya kraton dan priyayi, ada tani dan wong cilik.
Nah, itulah pandangan saya tentang kearifan lokal. Semoga ada gunanya buat perbandingan.

1 comment:

  1. yes, good point. the only exception for hollywood is perhaps the last airbender, though the characters still feel much american. but to understand local wisdom is never an easy task, even for real anthropologists

    ReplyDelete

Related Posts with Thumbnails